Tindakan Menyakiti Diri Sendiri (Self Injury) Pada Remaja

Saat memasuki masa remaja, seorang anak akan mengalami perubahan-perubahan yang tergolong cepat, termasuk perubahan dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan pencapaian-pencapaiannya. Berbagai gejolak muncul bersamaan dengan perasaan ingin mandiri. Remaja ingin menunjukkan kapasitas diri dan melepaskan diri dari pandangan sebagai anak. Pada fase ini, remaja juga sedang berusaha mencapai salah satu tugas perkembangannya, yaitu pembentukan identitas diri. Dukungan dan pendampingan orang tua masih sangat diperlukan oleh para remaja dalam melalui fase ini.

Pada kenyataannya, tidak semua remaja bisa memperoleh dukungan dan pendampingan yang efektif. Beberapa remaja mengalami kesepian, peraasaan kosong, stres, tidak memiliki tempat untuk mengekspresikan perasaan mereka, konflik dengan orang tua atau teman sebaya, trauma masa lalu, dan sebagainya. Kondisi ini seringkali membuat remaja merasa tidak berdaya dan tidak bisa menemukan jalan keluar. Akhirnya mereka melakukan hal-hal yang menurut mereka dapat meredakan perasaan-perasaan yang menyakitkan untuk sementara waktu, salah satunya adalah dengan melukai dirinya sendiri atau self injury /self harm.

self harm 2Self injury adalah mencederai tubuh sendiri dengan disengaja, dengan maksud tertentu, dan tidak dapat diterima secara sosial, tanpa niat bunuh diri (Klonsky, 2007; dalam Miller, 2010). Beberapa bentuk perilaku dari self injury adalah menyayat atau menusuk tangannya sendiri dengan benda tajam, membenturkan kepala, menarik rambut sendiri secara berulang dan sebagainya.

Self Injury lebih sering muncul pada individu usia remaja (Nixon & Heath, 2009; dalam Miller, 2010). Remaja yang merasa tidak mampu mengekspresikan ketidaknyamanannya secara tepat, cenderung mengekspresikan rasa sakit secara emosional kepada fisiknya. Menurut pemikiran remaja, hal ini akan sedikit mengurangi beban emosi, karena rasa sakit yang terjadi secara fisik dirasa lebih mudah dikontrol dan diatasi (Stanicke, Haavin, Gullestad, 2018). Ada pula yang mengganggap bahwa ini adalah hukuman bagi dirinya sendiri karena telah melakukan kesalahan.

Untuk mengetahui penyebab seseorang melakukan self injury, kita perlu memahami dinamika hubungan antara faktor-faktor internal maupun eksternal. Walsh (2006) mengemukakan Model Biopsikososial untuk menjelaskan hal yang terjadi di masa lalu seseorang atau pemicu perilaku melukai diri sendiri pada individu. Ada lima dimensi yang terdapat dalam model ini, yaitu :

  1. Dimensi lingkungan yang meliputi kehilangan hubungan, konflik interpersonal, tekanan atau tuntutan lingkungan, rasa frustrasi, isolasi sosial dan peristiwa-peristiwa yang dapat menjadi penyebab terjadinya trauma. Berbagai paparan di media sosial juga dapat memberikan pengaruh.
  2. Dimensi biologis yang menyatakan bahwa mungkin, mereka yang melukai dirinya memiliki kelainan dalam otak mereka, sehingga mereka cenderung mencari kepuasan dengan melukai dirinya. Hal ini dapat merujuk kepada kelainan pada sistem limbik yang mengatur regulasi afektif mereka, sehingga sering mengalami disregulasi emosi, atau adanya rasa puas setelah melukai diri sehingga kehilangan sensitivitas pada rasa sakit secara fisik.
  3. Dimensi kognitif, yaitu pemikiran dan kepercayaan yang dapat menjadi trigger perilaku melukai diri. Misalnya individu yang memiliki interpretasi buruk terhadap peristiwa yang terjadi, pemikiran-pemikiran negatif yang secara otomatis menjadi trigger, dan pemikiran yang berhubungan dengan trauma yang pernah dialami.
  4. Dimensi perilaku, yang merujuk kepada tindakan yang dianggap dapat menjadi trigger untuk melukai diri, misalnya hal-hal yang bisa membuat individu menjadi malu dan merasa layak mendapatkan hukuman.
  5. Dimensi afektif yang meliputi kecemasan, rasa tertekan dan panik, kemarahan, depresi, malu, rasa bersalah, dan kebencian.

self harm

Perilaku self injury umumnya dilakukan saat remaja sedang menyendiri. Sebagian dari mereka berusaha menutupi perilakunya tersebut. Kondisi ini membutuhkan penanganan yang tepat dan dukungan dari lingkungan sekitar. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasinya:

  • Temukan support system, yaitu dukungan sosial dan psikologis dari teman, keluarga, atau kerabat dekat. Berbagi dengan pihak-pihak yang dapat mendengarkan dan memberikan arahan positif.
  • Melakukan self care, yaitu aktivitas yang membuat nyaman dan tenang. Misalnya, melakukan me time dengan mendalami hobi, seperti bermain musik atau melukis, agar dapat membantu mengekspresikan emosi dengan cara yang positif.
  • Melakukan relaksasi dan latihan pernafasan. Relaksasi dan latihan pernafasan dapat mengurangi ketegangan.
  • Membangun pola hidup sehat, misalnya rutin berolahraga, cukup tidur dan istirahat, mengonsumsi makanan yang bergizi seimbang serta menghindari konsumsi minuman beralkohol dan narkoba.
  • Melibatkan diri dalam aktivitas sosial, misalnya melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat membantu atau bermanfaat bagi orang lain.
  • Minta bantuan dari profesional, yaitu dokter untuk perawatan luka secara medis dan psikolog atau psikiater untuk memberikan penanganan secara psikologis. Terapi dan konseling dengan psikiater atau psikolog bertujuan untuk mencari tahu penyebab tindakan menyakiti diri sendiri, sekaligus menemukan cara terbaik untuk mencegah terjadinya tindakan ini.

Silakan menghubungi Kayross Psikologi Utama untuk melakukan konseling dan terapi, bagi Anda atau kerabat yang membutuhkan bantuan terkait perilaku self-injury.

(By: Ivon Hartato, M. Psi., Psikolog)

Referensi :

Miller, David N.  (2010). Developmental Psychopathology at School (Identifying, AssesSelf Injuryng, and Treating Self-Injury at School). New York: Springer.

Walsh, B. W. (2006). Treating self-injury: A practical guide. New York: The Guilford Press.

https://www.alodokter.com/self-injury-gangguan-psikologis-menyakiti-diri-sendiri

https://www.researchgate.net/publication/322664537_How_Do_Young_People_Understand_Their_Own_Self-Harm_A_Meta-synthesis_of_Adolescents’_Subjective_Experience_of_Self-Harm