Pernahkah Anda bermain bola bekel?
Semakin keras bola bekel dijatuhkan, semakin tinggi juga bola akan melambung ke atas.
Dalam perjalanan hidup, setiap individu tidak lepas dari berbagai tantangan dan tekanan. Hal ini juga dialami oleh anak-anak—mulai dari persoalan akademik, konflik dengan teman sebaya, perubahan lingkungan, hingga dinamika dalam keluarga. Seperti bola bekel yang semakin tinggi melambung saat dijatuhkan lebih keras, anak yang memiliki resiliensi mampu bangkit dari kesulitan dan menjadi lebih tangguh. Resiliensi dalam konteks psikologi didefinisikan sebagai kemampuan (proses dan keberhasilan) individu untuk secara adaptif menghadapi, mengelola, dan pulih dari pengalaman hidup yang penuh tekanan, melalui fleksibilitas mental, emosional, dan perilaku (American Psychological Association [APA], 2018). Dengan kata lain, anak yang resilien bukan berarti tidak merasakan kesulitan, melainkan mampu mengatasi dan belajar dari pengalaman tersebut.

Sumber gambar: https://repositori.kemdikbud.go.id/30932/1/2.%20Ajar%20Bekelan.pdf
Faktor-faktor yang Memengaruhi Resiliensi pada Anak
Resiliensi tidak muncul begitu saja pada seorang anak. Dalam sebuah panduan praktis untuk membangun resiliensi pada anak yang disusun oleh Beyond Blue Ltd. (2017), disebutkan bahwa faktor yang memengaruhi terbentuknya resilensi pada anak, berasal dari faktor individual (internal), faktor lingkungan (eksternal), dan interaksi antara faktor internal dan eksternal.
A. Faktor individual (internal), dapat meliputi keterampilan menghadapi masalah (coping skills), keterampilan bersosialisasi, kemampuan regulasi diri, dan kepercayaan diri. Selain itu, kemampuan kognitif seorang anak, khususnya kemampuan dalam merencanakan sesuatu juga menjadi faktor penentu resiliensi pada anak (Hornor, 2017). Kemampuan-kemampuan ini berkaitan dengan bagaimana anak mengembangkan keterampilan memecahkan masalah (problem solving).
B. Faktor lingkungan (eksternal), meliputi keluarga, komunitas, dan masyarakat. Dalam keluarga, bagaimana pola asuh yang diterapkan orang tua, hubungan antar anggota keluarga yang hangat, komunikasi positif yang dijalin di dalam keluarga dapat memengaruhi perkembangan resiliensi anak. Selain itu, dalam lingkup komunitas, faktor yang dapat memengaruhi resiliensi anak, yaitu interaksi dengan teman dan interaksi di lingkungan sekolah (guru maupun teman). Semakin positif interaksi yang dibangun, maka semakin positif juga dampaknya terhadap perkembangan resiliensi anak. Sementara itu, di lingkungan masyarakat, bagaimana nilai-nilai sosial budaya diterapkan, kondisi politik dan ekonomi, serta hukum yang berlaku dapat menjadi faktor yang memengaruhi resiliensi anak. Faktor-faktor tersebut dapat Anda ketahui dengan bimbingan Psikolog Kayross Psikologi. Anda juga akan dibimbing untuk membangun resiliensi pada anak. Namun, ada beberapa hal yang dapat Anda lakukan terlebih dahulu seperti langkah di bawah ini.
Apa saja yang dapat dilakukan untuk membangun resiliensi pada anak?
Sebagai seorang individu, setiap anak pastinya memiliki latar belakang dan cerita kehidupan yang berbeda. Setiap anak memiliki pengalaman yang dipersepsikan sebagai pengalaman yang sulit atau menantang secara berbeda. Oleh sebab itu, berikut beberapa hal yang dapat dilakukan untuk membangun atau mengembangkan resiliensi pada anak:
- Berikan kesempatan pada anak untuk menjadi mandiri dan bertanggung jawab
Kemandirian dan tanggung jawab memiliki peranan penting dalam membangun resiliensi pada anak. Berikan kesempatan pada anak untuk memahami dan melakukan apa yang menjadi tanggung jawab mereka, misalnya tanggung jawab dalam hal membersihkan dan mengatur kerapian kamar, jadwal belajar dan mengerjakan tugas, serta kegiatan lainnya. Hal ini juga dapat membantu anak mengembangkan keterampilan merencanakan, membuat keputusan, mengatur waktu, dan memecahkan masalah.
- Ajak anak mengembangkan kemampuan regulasi emosi
Menjadi anak yang memiliki resiliensi, bukan berarti selalu harus merasa lebih baik atau bahkan sedikit menampilkan reaksi emosi. Namun, keterampilan ini berkaitan dengan bagaimana anak meregulasi emosinya dengan cara yang lebih sehat dan positif. Ajarkan anak untuk mengenali emosinya dan mengekspresikannya dengan sehat. Hal ini termasuk ketika anak mengalami kegagalan, orang tua dapat mengajak anak merefleksikan perasaan, pemikiran, dan pengalamannya, serta mengajak anak menyusun strategi agar dapat menjadi lebih baik di kesempatan lainnya. Sampaikan pada anak bahwa kegagalan, kesalahan, dan kekalahan adalah bagian dari proses pembelajaran agar kita dapat menjadi individu yang lebih baik.
- Latih anak untuk mengembangkan keterampilan sosial
Mengembangkan keterampilan sosial seperti berkomunikasi secara efektif, mendengarkan orang lain, serta melakukan negoisiasi dapat menjadi salah satu faktor penentu anak mengembangkan resilensi. Anak akan belajar bagaimana menyelesaikan masalah di lingkup sosial. Selain itu, orang tua dapat mengajak anak melakukan hal baru agar anak dapat memperluas pengalamannya.
- Ciptakan lingkungan yang suportif dan positif di keluarga
Lingkungan yang suportif dan positif menjadi salah satu kunci dalam membangun resiliensi pada anak. Orang tua perlu menciptakan interaksi yang hangat di rumah agar anak terbuka akan perasaan dan pemikirannya. Selain itu, beberapa sikap yang dapat dikembangkan orang tua yaitu empati, komunikasi efektif dan mendengarkan secara aktif, menunjukkan rasa cinta dan menghargai anak, mengidentifikasi dan mengembangkan kemampuan anak untuk mencapai keberhasilan, mendampingi anak saat mengalami kegagalan, serta mengembangkan disiplin dan tanggung jawab (Brooks & Goldstein, dikutip dalam Lubis & Dewi, 2021). Orang tua tidak perlu terburu-buru untuk mengambil alih ketika anak mengalami kesulitan atau tantangan, namun orang tua dapat berperan sebagai mentor bagi anak.
- Jadilah contoh bagi anak
Orang tua umumnya menjadi figur signifikan dalam kehidupan anak. Orang tua dapat menjadi teladan bagi anak-anaknya, termasuk menunjukkan sikap positif ketika menghadapi kesulitan atau situasi yang menantang.
Resiliensi merupakan keterampilan yang dapat dibentuk melalui interaksi antara potensi individu dan lingkungan yang mendukung. Orang tua, pendidik, dan masyarakat memiliki peran penting dalam membentuk anak-anak yang tangguh, adaptif, dan siap menghadapi tantangan kehidupan. Dengan membangun resiliensi sejak dini, kita tidak hanya membantu anak melewati masa sulit, tetapi juga mempersiapkan mereka menjadi individu yang sehat secara emosional dan sosial.
(By : Sila Paramita, M.Psi., Psikolog)
Sumber:
American Psychological Association. (2018). Diunduh dari https://dictionary.apa.org/resilience
Beyond Blue Ltd. (2017). Building resilience in children aged 0–12: A practice guide. Diunduh dari https://worldcdg.org/sites/default/files/2022-11/Building%20resilience%20in%20children%200-12.pdf
Hornor, G. (2017). Resilience. Journal of Pediatric Health Care, 31(3). Diunduh dari https://www.jpedhc.org/article/S0891-5245(16)30254-1/pdf
Lubis, M. & Dewi, R.S. (2021). Resilience in early childhood. Naturalistic, Jurnal Kajian Pendidikan dan Penelitian dan Pembelajaran, 6(1). Diunduh dari https://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=2950731&val=10128&title=Resilience%20in%20Early%20Childhood


